News

KEBERADAAN PABRIK TAHU LINGKUNGAN 7 KELURAHAN UJUNG PADANG MENGGANGU LINGKUNGAN SEKITARNYA

LOVANEWS.COM SUMUT

Padangsidimpuan jum’at 3 oktober 2025 – Persoalan pencemaran lingkungan kembali mencuat di Kota Padangsidimpuan. Kali ini, Himpunan Penjala Seluruh Indonesia (HIPSI) menyoroti pembuangan limbah dari puluhan pabrik tahu yang beroperasi di kawasan Kelurahan Ujung Padang, Kecamatan Sidimpuan Selatan. Limbah cair yang dibuang tanpa pengolahan langsung ke aliran Sungai Aek Sibottar dianggap merusak kelestarian Lubuk Larangan Al-Ikhlas Lingkungan 7 dan mengganggu aktivitas warga sekitar yang selama ini menggantungkan hidup dari sungai tersebut.

Ketua HIPSI Padangsidimpuan, Nawawi Lubis, menyampaikan bahwa pencemaran limbah tahu bukan lagi isu sepele, melainkan sudah masuk kategori ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekosistem sungai.

“Limbah tahu yang dibuang langsung ke sungai sangat berbahaya. Air menjadi keruh, ikan berkurang, dan ibu-ibu yang sehari-hari mencuci di Sungai Aek Sibottar sangat terganggu. Padahal, banyak dari mereka bekerja sebagai tukang dobi (mencuci kain orang) untuk menafkahi keluarga,” ujar Nawawi Lubis di Sekretariat HIPSI, Jalan Kenanga, Kecamatan Sidimpuan Utara.


Limbah Tahu dan Dampaknya Bagi Masyarakat

Sungai Aek Sibottar bukan hanya sumber air biasa, melainkan juga sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar. Selama ini, sungai tersebut digunakan untuk mencuci pakaian, mandi, hingga sebagai lokasi penangkapan ikan tradisional. Selain itu, keberadaan Lubuk Larangan Al-Ikhlas menjadi simbol kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian sungai dengan sistem larangan menangkap ikan di titik tertentu demi menjaga keberlanjutan ekosistem.

Namun, kehadiran pabrik tahu yang jumlahnya disebut mencapai puluhan unit di kawasan hulu sungai telah menimbulkan masalah besar. Limbah cair hasil produksi, yang kaya akan sisa kedelai dan zat organik, langsung dialirkan ke sungai tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Akibatnya, air menjadi keruh, berbusa, berbau menyengat, bahkan ikan-ikan yang ada di lubuk larangan mulai berkurang drastis.

Salah seorang warga Lingkungan 7, Kelurahan Ujung Padang, menuturkan bahwa bau limbah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.

“Setiap hari kami mencium bau tengik dari aliran limbah tahu itu. Sangat menyengat, sampai kadang bikin pusing. Kami sudah sering mengeluh, tapi belum ada tindakan nyata dari pemerintah,” ungkapnya.


Aspek Hukum yang Terlanggar

Menurut Nawawi Lubis, praktik pembuangan limbah langsung ke sungai jelas melanggar hukum. Ia menegaskan bahwa regulasi terkait lingkungan hidup sudah sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Pasal-pasal dalam UU tersebut mengatur kewajiban setiap pelaku usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan, termasuk mengolah limbah sebelum dibuang ke alam. Bahkan, aturan lebih detail dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Pembuangan limbah ke sungai tanpa pengolahan itu tindakan melawan hukum. Tidak hanya mencemari lingkungan, tapi juga merampas hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat,” tegas Nawawi.

Jika mengacu pada ketentuan hukum tersebut, pelaku usaha yang membuang limbah sembarangan dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana. Namun, lemahnya pengawasan dari dinas terkait membuat masalah ini terus berulang tanpa penyelesaian.


Pabrik Tahu dan Permasalahan Sosial Ekonomi

Industri tahu di Padangsidimpuan memang memberikan kontribusi ekonomi, terutama dalam hal membuka lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Namun, menurut HIPSI, keberadaan puluhan pabrik tahu yang tidak memiliki sistem pengolahan limbah telah menimbulkan masalah sosial-ekonomi yang jauh lebih besar.

  1. Kehilangan Sumber Penghasilan Warga
    Para penjala tradisional di bawah naungan HIPSI mengeluhkan jumlah ikan di Sungai Aek Sibottar semakin sedikit. Padahal, penjualan ikan dari lubuk larangan selama ini menjadi salah satu sumber pemasukan komunitas nelayan darat.

  2. Gangguan Bagi Tukang Dobi (Jasa Cuci Pakaian)
    Ibu-ibu rumah tangga yang menggantungkan hidup dengan mencuci pakaian orang lain (mendobi) di sungai kini kesulitan. Air keruh dan bau membuat aktivitas mencuci tidak nyaman, bahkan ada pelanggan yang menolak hasil cucian karena berbau.

  3. Masalah Kesehatan Masyarakat
    Bau menyengat dari limbah cair menyebabkan gangguan pernapasan dan sakit kepala bagi warga yang tinggal di bantaran sungai. Selain itu, kualitas air yang tercemar berpotensi menimbulkan penyakit kulit.


Kelestarian Lubuk Larangan Terancam

Lubuk Larangan Al-Ikhlas adalah salah satu aset budaya dan lingkungan yang berharga. Sistem lubuk larangan sudah turun-temurun dijaga masyarakat setempat sebagai bentuk kearifan lokal. Namun, keberadaan limbah tahu membuat habitat ikan di kawasan itu semakin terancam.

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan hanya kearifan lokal yang hilang, tetapi juga potensi wisata lingkungan berbasis kearifan lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan pemerintah.


Desakan HIPSI kepada Pemerintah

HIPSI menilai, Pemko Padangsidimpuan beserta DPRD harus segera turun tangan menyelesaikan masalah ini. Nawawi Lubis menegaskan, tanpa keberpihakan pemerintah, masyarakat akan semakin dirugikan dan konflik lingkungan bisa semakin meluas.

“Kami meminta Pemko, DPRD, dan dinas lingkungan hidup agar tidak menutup mata. Masalah ini menyangkut hak hidup masyarakat dan kelestarian sungai. Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut,” ujar Nawawi.

HIPSI juga mendorong pemerintah untuk melakukan:

  • Audit lingkungan terhadap seluruh pabrik tahu yang beroperasi.

  • Pembangunan IPAL komunal sebagai solusi teknis pengolahan limbah.

  • Penegakan hukum tegas bagi pelaku usaha yang melanggar aturan.

  • Sosialisasi dan pendampingan kepada pemilik usaha tahu agar bisa berproduksi ramah lingkungan.


Tuntutan Masyarakat: Lingkungan Sehat untuk Hidup Layak

Selain HIPSI, masyarakat juga menaruh harapan besar kepada pemerintah. Mereka ingin bisa kembali menggunakan Sungai Aek Sibottar seperti dulu, tanpa khawatir bau menyengat atau penyakit akibat air tercemar.

Bagi mereka, sungai adalah “urat nadi” kehidupan. Dari sana mereka mencuci, mencari ikan, hingga menghidupi keluarga. Kehilangan fungsi sungai sama saja dengan kehilangan sumber penghasilan dan kesejahteraan.


Solusi Jangka Panjang

Pakar lingkungan dari Universitas Graha Nusantara, yang diminta komentarnya, menyarankan agar Pemko tidak hanya menyelesaikan masalah secara reaktif, tetapi juga menyiapkan regulasi dan infrastruktur jangka panjang.

Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  1. Mewajibkan setiap pabrik memiliki IPAL sebelum diberikan izin usaha.

  2. Mengembangkan sistem pengolahan limbah terpadu yang bisa digunakan bersama oleh pabrik tahu.

  3. Mengintegrasikan pengawasan RTRW agar lokasi industri tidak merusak fungsi ekologis sungai.

  4. Menghidupkan kembali budaya lubuk larangan sebagai basis pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat.


Kasus pencemaran limbah tahu di Sungai Aek Sibottar adalah cermin persoalan klasik: benturan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. HIPSI bersama warga mendesak pemerintah agar tidak mengorbankan hak masyarakat demi kepentingan industri yang abai terhadap lingkungan.

Sampai berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pemko Padangsidimpuan mengenai langkah yang akan diambil. Namun, masyarakat berharap suara mereka didengar dan perubahan nyata segera dilakukan.

Karena bagi mereka, sungai adalah kehidupan. Dan kehidupan itu tidak boleh diracuni oleh limbah. Baron/ time

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button