Parkir Liar Kota Koboi

LovaNews.com,- Di sebuah kota yang kian padat dengan geliat ekonomi, jalan raya bukan lagi sekadar ruang untuk kendaraan berlalu-lalang. Ia telah berubah menjadi arena konflik kepentingan: antara pengendara yang butuh ruang, warga yang mendambakan keteraturan, dan kelompok-kelompok yang menjadikan jalan umum sebagai “ladang bisnis pribadi.” Fenomena itu dikenal masyarakat dengan istilah parkir liar.
Di kota ini, parkir liar sudah menjelma layaknya kultur kota koboi: bebas, tak terkendali, dan dibiarkan tanpa aturan tegas. Jalanan yang seharusnya tertata, kini penuh dengan juru parkir tanpa identitas, tiket parkir tanpa legalitas, hingga pungutan yang mengalir entah ke mana.
Fenomena Parkir Liar yang Tak Pernah Selesai
Hampir di setiap sudut keramaian, dari pasar tradisional hingga pusat perbelanjaan modern, fenomena yang sama berulang. Begitu kendaraan berhenti, sosok berseragam seadanya datang menagih biaya parkir. Tidak ada karcis resmi, tidak ada papan tarif yang jelas, hanya lisan dan paksaan.
Besaran biaya pun beragam. Kadang Rp2.000, kadang Rp5.000, bahkan bisa melonjak saat akhir pekan atau menjelang hari besar. Seorang pengendara motor bercerita:
“Saya hanya sebentar beli obat, tapi diminta Rp5.000. Ketika saya minta karcis, jawabnya: ‘Tidak ada karcis, bang. Biasa segitu.’ Mau protes pun percuma, karena mereka ramai-ramai.”
Di sinilah istilah “kota koboi” menemukan maknanya. Parkir liar berjalan seperti hukum rimba: siapa kuat, dia berkuasa.
Ketidakpedulian Pemerintah Kota
Yang lebih menyakitkan bagi warga bukan hanya pungutan liar itu sendiri, melainkan sikap pemerintah kota yang terkesan menutup mata. Padahal, perparkiran termasuk salah satu sektor yang bisa mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) jika dikelola dengan benar.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Potensi miliaran rupiah justru menguap ke tangan kelompok-kelompok tidak resmi. Pemerintah seolah puas dengan angka PAD parkir yang minim, tanpa mau menggali fakta mengapa setoran jauh dari potensi riil di lapangan.
Di satu sisi, pemerintah kota terus bicara soal pembangunan, tata ruang, dan sebagainya. Tetapi, pada praktiknya, tata kelola parkir—sesuatu yang bersentuhan langsung dengan warga setiap hari—dibiarkan semrawut.
Kronologi “Bisnis Jalanan”
Parkir liar di kota ini tidak muncul begitu saja. Warga menyebut sudah ada “tradisi” sejak bertahun-tahun lalu, ketika jalan-jalan ramai tidak diimbangi dengan kantong parkir yang memadai. Awalnya, sejumlah warga sekitar menawarkan jasa parkir secara sukarela. Namun lama-kelamaan, “jasa” itu berubah menjadi pungutan wajib.
Lambat laun, praktik ini melahirkan jaringan informal: ada yang menguasai lahan tertentu, ada yang bertugas mengutip, ada pula yang menjadi “beking.” Ketika aparat sesekali turun melakukan penertiban, efeknya hanya sesaat. Beberapa hari kemudian, mereka kembali beroperasi.
Tak heran bila warga menyebut, parkir liar di kota ini seperti bisnis yang tak tersentuh hukum.
Dampak Sosial-Ekonomi Parkir Liar
Fenomena parkir liar bukan sekadar persoalan kecil. Dampaknya terasa nyata bagi berbagai lapisan masyarakat:
-
Kerugian Pengendara
Pengendara harus membayar lebih mahal tanpa perlindungan. Bila kendaraan rusak atau hilang, juru parkir liar sering lepas tangan. -
Macet dan Semrawut
Parkir liar membuat badan jalan menyempit. Kendaraan diparkir seenaknya, menimbulkan kemacetan yang seharusnya bisa dihindari. -
Hilangnya Pendapatan Daerah
Potensi PAD yang seharusnya masuk ke kas daerah justru bocor. Uang parkir mengalir ke kantong pribadi atau kelompok tertentu. -
Tumbuhnya Rasa Ketidakadilan
Warga merasa diperlakukan tidak adil: membayar tanpa bukti resmi, sementara pemerintah kota seakan tidak peduli.
Suara Warga yang Mulai Lelah
Di warung kopi, di media sosial, hingga forum komunitas, keluhan warga semakin sering terdengar. Ada yang menceritakan pengalaman dipalak di depan rumah sakit, ada pula yang kesal karena dipaksa membayar dua kali di pasar.
Seorang ibu rumah tangga menuturkan:
“Kami pasrah saja bayar, daripada ribut di jalan. Tapi lama-lama capek juga. Pemerintah kemana? Masa parkir saja tak bisa diatur?”
Nada serupa datang dari sopir angkutan kota:
“Kami ini tiap hari setor ke terminal resmi. Tapi kalau berhenti sebentar di pinggir jalan, ada lagi yang minta uang. Rasanya kami ini diperas dua kali.”
Mengapa Pemerintah Bungkam?
Pertanyaan besar pun muncul: mengapa pemerintah kota tidak tegas? Ada beberapa kemungkinan yang banyak diperdebatkan publik:
-
Lemahnya Pengawasan
Aparat yang ditugaskan hanya sesekali turun, itupun lebih pada formalitas. -
Diduga Ada Kepentingan Tertentu
Isu yang beredar menyebut sebagian parkir liar dilindungi pihak tertentu yang dekat dengan penguasa. -
Kurangnya Political Will
Pemerintah kota lebih sibuk dengan agenda politik dibanding pembenahan sektor publik seperti parkir.
Apapun alasannya, yang jelas, ketidakpedulian pemerintah kota membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan.
Bandingkan dengan Kota Lain
Fenomena ini sebenarnya bukan monopoli satu kota. Banyak daerah lain berhasil menertibkan parkir liar dengan sistem digitalisasi parkir, penataan kantong parkir, hingga kerja sama dengan pihak swasta.
Hasilnya? Pendapatan daerah meningkat, warga merasa aman, dan wajah kota terlihat lebih tertib. Perbandingan ini membuat warga kota koboi semakin heran: mengapa kota mereka tidak bisa meniru hal serupa?
Analisis Pakar
Seorang pengamat tata kota dari universitas lokal menilai bahwa masalah ini bukan soal teknis semata, melainkan soal keberanian politik.
“Kalau pemerintah serius, bisa saja dibuat regulasi ketat, sistem parkir elektronik, dan penertiban rutin. Tapi selama ada pembiaran, parkir liar akan tetap jadi bisnis menggiurkan.”
Menurutnya, parkir liar adalah simbol kegagalan manajemen kota. Sebuah kota yang ingin maju, katanya, harus dimulai dari hal sederhana: mengatur jalan raya dengan tertib.
Harapan Warga: Dari Uang Receh Menuju Keadilan
Bagi sebagian orang, mungkin parkir liar hanya soal uang receh. Namun bagi warga kota koboi, persoalan ini sudah menyentuh harga diri. Mereka merasa tidak diperlakukan adil sebagai pembayar pajak.
Harapan warga sederhana: pemerintah hadir, aturan ditegakkan, dan setiap rupiah yang dibayarkan masuk ke kas resmi, bukan ke kantong pribadi.
“Kalau memang harus bayar, tidak apa-apa. Asal jelas, resmi, ada karcis, dan kalau motor hilang ada tanggung jawab,” ujar seorang mahasiswa.
Penutup: Kota Koboi atau Kota Tertib?
Fenomena parkir liar di kota koboi adalah cermin nyata dari ketidakpedulian pemerintah kota terhadap warganya. Jalan raya dibiarkan dikuasai kelompok liar, pengendara diperas tanpa perlindungan, dan potensi pendapatan daerah menguap tanpa jejak.
Pertanyaannya kini: apakah kota ini akan terus menjadi kota koboi, di mana hukum jalanan lebih kuat daripada aturan pemerintah? Atau, akankah ada pemimpin yang berani mengubah wajah kota dengan menertibkan parkir, membuktikan bahwa pemerintah benar-benar bekerja untuk rakyat?
Sampai saat itu tiba, warga hanya bisa berharap, sambil terus membayar pungutan liar di jalan-jalan yang seharusnya milik bersama.


